19 April 2013

SURGAMU KAN KERING

SURGAMU KAN KERING
Serial : Kelana P. Firman

Matanya redup, tatapannya tak bersinar bahagia, bercak bening mengembun memenuhi kantung matanya, kesedihan tak dapat ia sembunyikan dalam ketegaran, tangannya menelungkup mulutnya dan sesekali menghapus air mata yang menetes mengalir di pipinya, isakan kecil mulai terdengar dan menyesakkan dada, ia tak percaya, cerita seperti ini benar-benar ia temui dan rasakan, berpisah dengan orang yang ia cintai, manisnya pernikahan hanya satu minggu ia rasakan, istana raja hanya dihuni permaisuri yang mesti menunggu abadi sampai sang raja kembali, maksud hati ingin cepat menggendong bayi hanyalah mimpi, "akankah ia kembali ...?" kehawatiran selalu saja menghantuinya. Mas Arif demikian ia biasa menyebut suaminya. Arif seorang voluntier aktif harus pergi ke Gaza untuk membantu saudaranya yang terzdolimi, kecintaannya menolong orang lain sudah tersemat sewaktu dia masih kecil, dalam tatap ibunya anak ini benar-benar penolong dan soleh.

Afni demikian sebut saja tokoh utama cerita kita kali ini, tertegun dengan derai air mata yang terus menetes, ia teringat akan kata penuh misteri yang diucapkan suaminya ketika hendak pergi, "Surga akan menghampiri kita, jika apa yang kita lakukan hari ini berada di jalan-NYA, dengan ikhlas dan tawakal.... Puaskan dan teteskan air matamu untuk saudaramu yang di Gaza, jangan untukku, sebab nanti surgamu kan kering karena tangismu yang sia-sia. Cintailah saudaramu lebih dari mencintai suamimu, biar surgamu ramai dengan amalmu dan pernak-pernik cinta yang tiada tara. Ingat ... Allah lebih mencintai hambanya yang faham dan sadar, bahwa hidup adalah nikmat terindah yang telah Allah berikan kepada hambanya, dan harus ingat, kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-NYA," tangis dan isaknya semakin menjadi, Arif memeluk istrinya dalam dekapan kerinduan cinta yang dalam, tapi tetap cintanya terhadap Allah dan jalan-NYA tidak berkurang, Subhanallah.... Cinta dan rindu datang dengan sendirinya, kapan ia harus pergi dan kapan harus kembali.

Selatan Sisih Terpencil, 17 Desember 2012

Gelisah....

Gelisah....
Pena : Kelana P. Firman

rumus matematika takkan bisa memecahkan
gelisah yang terus bersitumpu dengan harap
dan kedalamannya takkan dapat diukur dengan
rumus panjang kali lebar yang asanya selalu saja berubah
memaknai c=i+a terlalu rumit dibahas dalam ukuran waktu
karena waktu berjalan dari detik menuju menit dan
memutar membentuk jam pagu waktu yang ditunggu
waktu=0 karena harap tak membentuk sebuah bilangan
menanti yang tak kunjung tiba memang membosankan
jangan katakan c=i+a dia selalu ada hadir kapan saja
karena s=e+1a bisa saja berubah warna menjadi se+1a

Kecewa....!

Kecewa....!
Pena : Kelana P. Firman

kecewa adalah rumus yang difaktorkan dan
bisa dikalikan berapa saja hingga kelipatan
tak terhingga
dan sabar bisa mendekati nilai nol jika terlalu
sering dikurangi angka-angka kecewa
putus asa merupakan faktor berikutnya
setelah nilai sabar habis di bagi nilai kecewa
jadi putus asa = sabar : kecewa atau
putus asa = sabar - kecewa dan kecewa
siapa suka ....!!!?

CINTA KARENA-MU atau HANYA NAFSU

CINTA KARENA-MU atau HANYA NAFSU
Serial : Kelana Pembawa Firman

"Ya... Allah... salahkah jika hambamu ini mencintainya...?, tapi entah... karena nafsu... atau hambamu mencintainya karena-MU...?" hatinya bergelut dalam tanda tanya yang tak yakin. Di balik jendela kaca kampus Aida mencuri pandang, memperhatikan seseorang yang dia kagumi. Ia hanya bisa tersenyum dan tersipu dengan tingkah lakunya saat itu, malu rasanya, tapi suka yang amat sangat telah membawanya pada sikap yang aneh.

Awalnya Aida biasa saja, tak terbersit sedikitpun dalam hatinya akan tumbuh rasa itu. Seorang lelaki cukup usia memasuki ruang kampus, di mana Aida berada. Ia berdiri di depan, tatap matanya memandangi mahasiswa satu persatu tanpa ada yang tertinggal. Aida kikuk dan gelisah ketika matanya tertuju padanya, apalagi ketika senyumnya yang manis mengembang, hatinya tambah dagdigdug tak karuan saja. Aida yang polos, merasakan tatapan dan senyuman itu sebagai sinyal rambahan asa yang menelusup ke relung hati, berkecambah menjadi benih-benih harap yang berkembang menjadi bunga-bunga cinta.

Setiap kali bertemu Aida hanya tersenyum dan tersipu. Kalaupun ada sedikit canda, Aida hanya bilang "ah.. Bapak..." begitu saja, tak banyak kata yang dia ucapkan, sambil berlari kecil dan tergesa memasuki ruang kampus. Dan seperti biasanya ia hanya mengintip di balik jendela kaca, dan ia titipkan asanya pada cermin agar selalu menempel dan melekat walaupun kabut rinai hujan menutupinya.

"Biarlah mentari yang menyibakkan dan membuka tabir cinta di balik kaca, kala pagi datang dengan harapan baru yang berhiaskan rasa malu-malu...." demikian gumam Aida yang tak kuasa menahan beban rasa agar menjadi nyata adanya, dan bukan mimpi semata.

Selatan Sisih Terpencil, 19 Desember 2012

17 April 2013

“Seonggok Rindu Yang Menggondok” dalam “BUTIR CINTA ITU BERSEMI KEMBALI DI TAMAN HATI”

Cerpen ini diadaptasi dari, Cerpen “Seonggok Rindu Yang Menggondok” oleh Ovay Simangunsong (sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran).



“BUTIR CINTA ITU BERSEMI KEMBALI DI TAMAN HATI”

Oleh : Kelana P. Firman


Langit begitu buram, kelam jadi lukisan kental kentara menggores di cakrawala. Hujan sepertinya akan turun diringi dengan dentuman keras kilat mengelegar membahana memenuhi mayapada, bukannya tetes gerimis manis yang menghantarkan senyuman syahdu untuk menyatukan butir-butir cinta yang tercecer dan tersembunyi di balik kisi-kisi sanubari umat manusia.

Ada yang ingin dihantarkan oleh pucatnya suasana alam semesta, cinta tak semestinya dibalut dengan dusta apalagi kemunafikan. Dusta bukanlah dewa yang mesti dupuja. Dusta bukanlah obat mujarab yang harus selalu dibawa, tapi racun yang mesti dibuang dan dilenyapkan dari lembah-lembah jiwa manusia.

Seringkali ucap kasar terlontar begitu saja dari mulutku, kata yang tak semestinya aku lontarkan begitu saja pada suamiku sendiri. Entah kenapa, aku sendiri pun tak tahu. Hanya karena Anjar selalu mengingatkanku agar membiasakan bangun lebih pagi, aku marah tak terkendali.

Itu sebabnya Anjar memutuskan untuk pergi, seperti yang sering ia lakukan ketika sudah tak tahan mendengar kata-kata kasarku.

Anjar lebih memilih pergi menghindar daripada harus diam di rumah dan perang mulut. Dia akan pulang satu hari kemudian, setelah kemarahanku reda dan memintanya untuk pulang. Tapi kali ini Anjar pergi begitu lama. Aku khawatir Chalsa anakku akan menanyakan tentang kepergian ayahnya, apa jawabku nanti ?

Aku termenung dalam tanya yang tak bisa aku jawab, aku semakin tenggelam dalam kebingungan. Disela-sela kegalauan pikiran, aku dikagetkan teriakan panggilan Chalsa.

“Mam...Mamah....Mamah....!”, teriaknya, yang membuatku semakin panik saja.

“Mamah diamana sih, kok tidak menjawab ?”, teriaknya gusar, dengan perlahan sambil kusembunyikan kegalauanku, aku keluar dari kamar menghampiri Chalsa.

“Ada apa nak, kok teriak-teriak, kayak di hutan aja ?”, tanyaku dengan kening sedikit berkerut.

“Mam ayah mana. Kok nggak pulang-pulang ?”, aku kaget serasa tersambar petir saja. Inilah pertanyaan yang paling aku takutkan yang terlontar dari mulut manis putriku. Bagaimana tidak, karena aku sudah berjanji pada anakku bahwa ayahnya akan segera pulang hari ini.

Jujur aku tak ingin lagi berbohong pada anakku. Anjar tak pulang bukan karena kesibukannya di kantor, seperti yang selalu aku katakan pada anakku untuk menutupi masalah sebenarnya yang telah terjadi antara aku dan Anjar.

“Sebenatar lagi sayang, mungkin ayah masih sibuk di kantor.” Jawabku dengan nada pelan memastikan. Padahal aku sendiri tidak tahu Anjar pergi mau sampai kapan.

Sebagai seorang ibu, harusnya aku dapat menjadi teladan dan figur yang baik untuk anakku, juga mestinya dapat menjadi istri yang diharapkan oleh suami. Berulangkali aku mencoba, bermacam cara telah aku lakukan, sampai dalam setiap sujudku memohon petunjuk Tuhan untuk mengusir semua keegoisanku dalam diri ini, tapi tetap tak menghasilkan apa-apa. Sepertinya keegoisanku telah menyatu dalam darah dan dagingku.

Ribuan tanya berdesakan memenuhi kepalaku, “mengapa aku egois ?”, geramku dalam hati. Aku tak pernah menuruti petuah dari suami, jangankan mengimplementasikan sarannya, bahkan mendenganr kata-katanyapun aku malas, muak. Aku sadar benar bahwa yang telah aku lakukan adalah kesalahan yang sangat besar, dan aku sadari juga bahwa Anjar itu imam yang baik, penyabar, tak pernah lelah memberikan nasehat, ia selalu tersenyum jika aku sedang marah-marah. Bila aku ingat tentang semua kebaikan sikap Anjar terhadapku, aku juga kerap mengutuk diri sendiri, “mau jadai apa aku ini ?”. Rasa syukur sangatlah jauh ada padaku, dan yang lebih aneh lagi sepertinya aku tak mengenali diriku yang sebenarnya.

Terlalu kelewatan memang sikapku, setiap Anjar hendak pergi ke kantor mana pernah aku menyiapkan sarapan untuknya, mencium tangannya, atau berpesan agar ia selalu berhati-hati, menjaga diri dengan baik agar tidak terjadi sesuatu padanya. Ketika kepulangannya dari kantorpun aku bersikap acuh seperti biasa. Tak seperti istri-istri yang lain pada umumnya. Tapi Anjar tetap sabar menemaniku, dan ia selalu berjanji akan terus bersamaku sampai ajal menjemput. Baginya kesungguhan adalah segalanya, “jika kesungguhan kita hari ini tak menghasilkan apa-apa, maka percayalah dikemudian hari kesungguhan itu akan mendatangkan hasil yang seperti kita inginkan. Karena pada dasarnya kesungguhan itu merupakan investasi keberhasilan di waktu yang akan datang”, berulangkali Anjar selalu katakan itu padaku.

Aku tak bisa terus menerus membohongi anakku sendiri. Ia begitu rindu pada ayahnya, demikian juga aku. Hanya saja aku tak pernah memperlihatkannya pada Anjar.

“Kriiiing.... kriiiing.... kriiing.....”, secepatnya kuraih ponsel, ternyata dari Anjar. Lagi-lagi keegoisanku muncul. Aku tidak mau jika harus mendengar suaranya, apalagi memintanya untuk pulang. Aku tak mampu berkata-kata padanya lewat telepon. Kuputuskan saja untuk mengirin pesan pendek pada Anjar “Mas..., pulanglah segera, Chalsa anakmu selalu saja menanyakan tentang kamu....”, hanya beberapa patah kata yang dapat aku tuliskan, walau kutahu bahwa aku juga sebenarnya sangat merindukannya.

***

Sejenak pandanganku tertuju pada sebuah potret di atas meja riasku, potret pernikahanku dengan Anjar. “Anjar.. maafkan aku..., sebenarnya aku sangat mencintaimu”, hatiku bergumam lirih, dan tanpa sadar khayalku kembali pada kisah empat tahun silam. Kisah dimana antara aku dan Anjar, ketika mulai meniti cerita asmara, menjadi sepasang kekasih yang larut dalam buaian keindahan cinta yang memukau hati dan perasaan. Aku tak kuasa dengan jutaan rayu manis Anjar, tuturnya begitu lembut, penuh kasih dan sayang. Cinta yang dia hembuskan, membawaku terbang ke surgaloka. Jiwaku terasa luluh tak berdaya, seolah terkena sihir dan semacamnya.

Rinduku pada Anjar semakin memuncak, rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, rindu terpendam yang sejak beberapa tahun lamanya telah aku kumpulkan dan bertumpuk hingga menyekapku dalam ruang kemunafikan. Tak sebanding memang jika kuingat semua kisah masa lalu, dengan sikapku akhir-akhir ini kepada Anjar.

****

Jika Anjar pulang, apa yang harus aku lakukan ? Apakah aku masih tetap bersikap egois dan berpura-pura menyembunyikan kerinduanku padanya ? Aku sudah jenuh dan tak ingin lagi hidup dalam kemunafikan. Mungkin saat inilah waktunya untuk memperbaharui semuanya.

“Tuhan... kembalikanlah suamiku, bawalah dia kehadapanku, dan aku akan bersimpuh memohon maaf. Tuhan... tuntunlah dia kembali dengan cintanya yang tulus, seperti yang selalu ia bisikan, bahwa dia akan selalu mencintaiku dan takkan pernah meninggalkannku. Tuhan... aku begitu mencintai dan menyayanginya... aku mohon padamu Tuhan... kembalikanlah ia...”, pintaku dengan hati yang lirih.

Kehawatiran masih terus menghantuiku, bagaimana jika nanti Anjar sampai tak pulang, bahkan Anjar meninggalkanku untuk selama-lamanya. Kiranya rasa sakit yang teramat sangat akan mengabadi dan merambah masuk ke pori jiwa hingga kuterpuruk dan tak berdaya. “Jangan Anjar...! Jangan lakukan itu padaku, aku tidak mau kehilanganmu..., tidak.... Jangan Anjar.... jangan....”, mohonku dalam hati, dengan tubuh bergetar dan air mata yang terus membasahi pipi.

****

Begitu hebatnya pertengkaran dibathinku, hingga membuatku tak kuasa harus berbuat apa. Tanpa sadar aku berdiri dan melangkah menuju jendela. Di balik tirai aku berhenti diam, tatapanku jauh keluar menembus pagar halaman, senyuman dan lambaian tangan Anjar membias samar dan kemudian hilang. “Ah..!”, aku tersadar, itu ternyata hanya ilusiku saja. Tapi tiba-tiba aku dikagetkan oleh bunyi ponselku. Setelah kulihat aku makin tambah kaget, karena Anjar mengirimkan pesan singkat untukku, yang isinya membuatku tidak bisa berkata apa-apa, mengharukan, air mataku menetes tak henti, tak dapat kubendung dengan menahan isak, “Sekar.. istriku, apakah percikan api di rumah kita sudah padam, jika belum aku tak kan pernah kembali pulang. Aku takut kalau percikan api itu terus-menerus menyala, bisa saja ia akan menghabiskan dan menghanguskan bentuk abadi cinta kita. Sekar.. cintaku, dan aku tak akan pernah kembali pulang jika pintu surgaku masih saja terus kau tutup......”, apa ? aku baru sadar dan berlari keluar menuju pintu, sambil berteriak “Mas Anjar ... Mas Anjar...”, pintu kubuka, dia sudah berdiri di depan pintu dengan senyumannya yang khas, aku tak dapat menahan kegembiraanku, langsung kudekap, kurengkuh erat-erat tubuhnya. Aku tak mau kehilangan dia lagi. Dia kembali memelukku erat. Aku terisak menangis di dada bidangnya. “Maafkan aku mas...”, aku memohon pada Anjar. Anjar tidak banyak berkata-kata, sambil memeluk dan sesekali menciumku, ia berkata, “sudahlah... tak apa-apa, ini hanyalah sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi...”.

Awan mendung kini telah bergeser, berpindah tempat entah kemana. Hidup adalah sebuah perjalanan, kadang naik, turun, berkelok, dan kembali lurus. Cahaya yang hampir padam kini telah kembali bersinar, terang bederang membuat lukisan pelangi di bianglala dengan goresan yang indah, senyumnya itu ternyata telah menyatukan butir butir cinta, bersemi kembali di taman hati.

*****

Seonggok Rindu Yang Menggondok

Seonggok Rindu Yang Menggondok
Oleh: Ovay Simangunsong IV

Gemercik hujan di usianya yang sudah menyondong, dentum petirpun silih berganti seperti tak mau kalah. Menggores jiwa yang rapuh, lebur dalam kesunyian. Membuat bumi seolah terkantuk-kantuk untuk tertidur selamanya.
Sepi yang kian mencekam, menggambarkan pada hari esok yang nyap-nyap hampir terkikis deras hujan. Kerinduan pada mentari pagi, serta cahaya kedamaian yang rajin menembus pori-pori sukma dan keagungannya.
***
Seringkali ucap kasar terlontar begitu saja dari mulutku, kata yang tak sepantasnya aku lontarkan pada suamiku sendiri. Entah mengapa, aku sendiri pun tak tahu. Hanya karena Anjar selalu mengingatkan aku agar membiasakan diri untuk bangun lebih pagi, aku marah tak terkendali.
Itu sebabnya Anjar memutuskan untuk pergi, seperti yang sering ia lakukan sebelumnya kala ia sudah tak dapat menahan dan mendengar kata-kata kasarku.
Anjar lebih memilih pergi menghindariku, ketimbang diam di rumah dan cek-cok denganku. Biasanya ia akan pulang satu hari kemudian, atau setelah kemarahanku reda dan memintanya untuk kembali pulang, tapi tak biasanya Anjar sampai lima hari pergi seperti sekarang ini.
“Mam, Ayah mana?” tanya chalsa lirih.
Seketika terasa tersambar petir aku mendengarnya. Inilah pertanyaan yang paling kutakutkan terlontar dari mulut manis putriku. Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah berjanji pada anakku bahwa Anjar akan segera pulang pada hari ini, sejak kepergiannya lima hari yang lalu.
Jujur aku tak ingin lagi berbohong pada anakku. Anjar tak pulang bukan karena kesibukannya di kantor, seperti yang selalu aku katakan pada anakku untuk menutupi masalah sebenarnya yang telah terjadi antara aku dan Anjar.
“Tunggu sebentar lagi ya sayang, mungkin Ayah masih sibuk di kantor.” Jawabku dengan nada pelan memastikan. Padahal dalam hati aku terpukul, aku sendiri tak tahu Anjar pergi mau sampai kapan.
Sebagai seorang ibu, harusnya aku dapat menjadi teladan dan figur yang baik untuk anakku, juga mestinya dapat menjadi istri yang diharapkan oleh suami. Tapi semua itu hanyalah harapan yang tak pernah aku dapatkan sampai detik ini.
Berulanglkali aku mencoba, bermacam cara telah aku lakukan, sampai dalam setiap sujudku memohon petunjuk tuhan atas kuasanya untuk mengusir semua keegoisanku dalam diri ini, tapi tetap tak menghasilkan apa-apa. Sepertinya keegoisanku telah menyatu dalam darah dan dagingku. Aku merasa manusia paling tak berguna di dunia ini.
Ribuan Tanya sibuk berdesakan memenuhi rongga kepalaku.
“Mengapa aku egois?” geramku dalam hati.
Aku tak pernah menuruti petuah dari sang suami, jangankan mengimplementasikan sarannya, bahkan mendengarkannya pun aku malas. Membangkang, menghujat, memalingkan muka, dan mencibir saja yang aku lakukan padanya.
Padahal aku juga menyadari bahwa yang telah aku lakukan merupakan kesalahan yang sangat besar, dan aku juga menyadari Anjar itu imam yang baik, ia penyabar, ia tak pernah lelah memberikan nasehat, serta Anjar selalu tersenyum kalaku marah dan protes.
Aku juga kerap mengutuk diri sendiri. Mau jadi apa aku ini?
Rasa syukur sangatlah jauh ada pada diriku, selain itu aku juga seperti tak mengenali diriku yang sebenarnya.
Setiap Anjar hendak pergi ke kantor, mana pernah aku menyiapkan sarapan untuknya, mencium tangannya, atau berpesan agar ia selalu menjaga diri dengan baik ketika hendak bepergian. Ketika kepulangannya dari kantor pun aku seperti biasa bersikap acuh. Tak seperti istri-istri yang lain pada umumnya. Tapi Anjar tetap sabar menemaniku, ia juga selalu berjanji akan terus bersamaku sampai adjal menjemput. Baginya kesungguhan adalah segalanya, ” Jika kesungguhan kita hari ini tak menghasilkan apa-apa, maka percayalah dikemudian hari kesungguhan itu akan mendatangkan hasil yang seperti kita inginkan. Karena pada dasarnya kesungguhan itu merupakan investasi keberhasilan di waktu yang akan datang.” Berulangkali Anjar selalu katakan itu padaku.
***
Aku tak bisa terus menerus membohongi anakku sendiri. Bagaimanapun ia rindu pada ayahnya, demikian juga aku. Hanya saja aku tak pernah memperlihatkan semua itu pada Anjar, aku merasa tensi jika harus menunjukan itu semua.
Secepatnya kuraih ponsel. Lagi-lagi keegoisanku muncul. Aku malu jika harus mendengar suaranya dan memintanya untuk pulang. Sepertinya aku takkan mampu berkata apapun padanya lewat telepon.
Akhirnya kuputuskan untuk mengirimkan pesan pendek.
“Mas, segeralah pulang. Chalsa merindukanmu” Beberapa patah kata yang mampu kutuliskan. Walau kutahu, aku juga sangatlah merindukannya.
Sejenak pandanganku tertuju pada sebuah potret yang terpajang di meja riasku. Potret pernikahan antara aku dan Anjar.
Tanpa sadar aku berkata lirih “ aku mencintaimu Anjar”.
Khayalanku kembali terseok pada kisah empat tahun silam. Kisah di mana aku dan Anjar mulai meniti cerita asmara, menjadi sepasang kekasih yang terhanyut larut dalam keindahan duniawi yang tiada terkira mewahnya.
Meskipun aku mencintai Anjar, tapi bukan berarti aku konsisten terhadap yang namanya setia. Dulu pernah aku nyaris tergoda bujuk rayu pria lain, bahkan tak hanya satu kali. Aku juga senang dengan selalu memperlihatkan bahasa tubuh yang seolah mengajak mereka untuk menggapai asmara, dengan satu kerlipan mata saja mampu memporakporandakan kokohnya benteng kesadaran mereka.
Walau begitu, aku tak kuasa dengan jutaan rayu manis Anjar, tuturnya begitu lembut. Tutur penuh cinta dari hatinya mampu membawaku terbang keseluruh pelosok surgaloka. Jiwa terasa luluh tak berdaya, seolah sihir dan semacamnya.
***
Kurasakan rindu pada Anjar semakin memuncak, rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, rindu terpendam yang selama ini tak sadar telah aku kumpulkan sejak beberapa tahun lamanya. Segala rindu bermacam rindu kini menyekapku dalam ruang kemunafikan.
Jika Anjar kembali pulang. Apa yang harus aku lakukan?
Apakah aku masih tetap egois dengan selalu berpura-pura dan menyembunyikan kerinduanku padanya?
Aku sudah tak ingin lagi hidup dengan kemunafikan. Aku sudah tak ingin lagi memegang prinsifku untuk tak pernah memperlihatkan bahwa diri ini butuh Anjar, cinta Anjar, dan takut sekali kehilangan Anjar.
Mungkin ini adalah waktunya untukku memperbaharui semuanya
“ Tuhan . . . bawalah suamiku kembali, aku sangatlah mencintainya” jeritku dalam hati.
Apalah jadinya aku nanti jika Anjar sampai tak pulang dan meninggalkankku untuk selama-lamanya. Mungkin rasa nyeri yang mengabadi yang akan terjadi padaku. “Jangan Anjar, jangan tinggalkan aku” mohonku dalam hati yang tak usainya tubuh bergetar dan cucuran air mata.
***
Ditengah sibuknya pertengkaranku dengan rasa takutku yang begitu hebat, aku dikagetkan oleh datangnya pesan singkat yang kulihat itu balasan pesan dari Anjar.
“Maukah kau membukakan pintu untukku, Sekar?”
Seketika langit seolah runtuh, bumi terasa berguncang dengan hebatnya. Aku bahagia tak terkira. Segera kuberlari ke luar kamar menuju pintu depan.
Anjar…!!
Brukkk……
langsung kudekap, kurengkuh erat-erat tubuh Anjar. Aku terisak sejadi-jadinya di dada bidangnya.
“Mas, maafkan aku”
Sebuah kecupan kecil mendarat di keningku. Dengan nada bijak Anjar berkata “Maaf adalah menyesali perbuatannya, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah mengulangnya lagi”
Tuhan, Betapa bijaknya suamiku. Ia tak pernah sama sekali berang dan bosan padaku, malahan ia selalu mengajarkan aku tentang kemurahan hati yang tak terkira harganya.
“Terimakasih Mas” ucapku datar.
“Kembali kasih, Sekar. Lupakanlah masalah ini, dan marilah kita meniti jalan hidup yang lebih sempurna lagi"