Cerpen ini diadaptasi dari, Cerpen “Seonggok Rindu Yang Menggondok” oleh Ovay Simangunsong (sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran).
“BUTIR CINTA ITU BERSEMI KEMBALI DI TAMAN HATI”
“BUTIR CINTA ITU BERSEMI KEMBALI DI TAMAN HATI”
Oleh : Kelana P. Firman
Langit begitu buram, kelam jadi lukisan kental kentara menggores di cakrawala. Hujan sepertinya akan turun diringi dengan dentuman keras kilat mengelegar membahana memenuhi mayapada, bukannya tetes gerimis manis yang menghantarkan senyuman syahdu untuk menyatukan butir-butir cinta yang tercecer dan tersembunyi di balik kisi-kisi sanubari umat manusia.
Ada yang ingin dihantarkan oleh pucatnya suasana alam semesta, cinta tak semestinya dibalut dengan dusta apalagi kemunafikan. Dusta bukanlah dewa yang mesti dupuja. Dusta bukanlah obat mujarab yang harus selalu dibawa, tapi racun yang mesti dibuang dan dilenyapkan dari lembah-lembah jiwa manusia.
Langit begitu buram, kelam jadi lukisan kental kentara menggores di cakrawala. Hujan sepertinya akan turun diringi dengan dentuman keras kilat mengelegar membahana memenuhi mayapada, bukannya tetes gerimis manis yang menghantarkan senyuman syahdu untuk menyatukan butir-butir cinta yang tercecer dan tersembunyi di balik kisi-kisi sanubari umat manusia.
Ada yang ingin dihantarkan oleh pucatnya suasana alam semesta, cinta tak semestinya dibalut dengan dusta apalagi kemunafikan. Dusta bukanlah dewa yang mesti dupuja. Dusta bukanlah obat mujarab yang harus selalu dibawa, tapi racun yang mesti dibuang dan dilenyapkan dari lembah-lembah jiwa manusia.
Seringkali ucap kasar terlontar begitu saja dari mulutku, kata yang tak semestinya aku lontarkan begitu saja pada suamiku sendiri. Entah kenapa, aku sendiri pun tak tahu. Hanya karena Anjar selalu mengingatkanku agar membiasakan bangun lebih pagi, aku marah tak terkendali.
Itu sebabnya Anjar memutuskan untuk pergi, seperti yang sering ia lakukan ketika sudah tak tahan mendengar kata-kata kasarku.
Anjar lebih memilih pergi menghindar daripada harus diam di rumah dan perang mulut. Dia akan pulang satu hari kemudian, setelah kemarahanku reda dan memintanya untuk pulang. Tapi kali ini Anjar pergi begitu lama. Aku khawatir Chalsa anakku akan menanyakan tentang kepergian ayahnya, apa jawabku nanti ?
Aku termenung dalam tanya yang tak bisa aku jawab, aku semakin tenggelam dalam kebingungan. Disela-sela kegalauan pikiran, aku dikagetkan teriakan panggilan Chalsa.
“Mam...Mamah....Mamah....!”, teriaknya, yang membuatku semakin panik saja.
“Mamah diamana sih, kok tidak menjawab ?”, teriaknya gusar, dengan perlahan sambil kusembunyikan kegalauanku, aku keluar dari kamar menghampiri Chalsa.
“Ada apa nak, kok teriak-teriak, kayak di hutan aja ?”, tanyaku dengan kening sedikit berkerut.
“Mam ayah mana. Kok nggak pulang-pulang ?”, aku kaget serasa tersambar petir saja. Inilah pertanyaan yang paling aku takutkan yang terlontar dari mulut manis putriku. Bagaimana tidak, karena aku sudah berjanji pada anakku bahwa ayahnya akan segera pulang hari ini.
Jujur aku tak ingin lagi berbohong pada anakku. Anjar tak pulang bukan karena kesibukannya di kantor, seperti yang selalu aku katakan pada anakku untuk menutupi masalah sebenarnya yang telah terjadi antara aku dan Anjar.
“Sebenatar lagi sayang, mungkin ayah masih sibuk di kantor.” Jawabku dengan nada pelan memastikan. Padahal aku sendiri tidak tahu Anjar pergi mau sampai kapan.
Sebagai seorang ibu, harusnya aku dapat menjadi teladan dan figur yang baik untuk anakku, juga mestinya dapat menjadi istri yang diharapkan oleh suami. Berulangkali aku mencoba, bermacam cara telah aku lakukan, sampai dalam setiap sujudku memohon petunjuk Tuhan untuk mengusir semua keegoisanku dalam diri ini, tapi tetap tak menghasilkan apa-apa. Sepertinya keegoisanku telah menyatu dalam darah dan dagingku.
Ribuan tanya berdesakan memenuhi kepalaku, “mengapa aku egois ?”, geramku dalam hati. Aku tak pernah menuruti petuah dari suami, jangankan mengimplementasikan sarannya, bahkan mendenganr kata-katanyapun aku malas, muak. Aku sadar benar bahwa yang telah aku lakukan adalah kesalahan yang sangat besar, dan aku sadari juga bahwa Anjar itu imam yang baik, penyabar, tak pernah lelah memberikan nasehat, ia selalu tersenyum jika aku sedang marah-marah. Bila aku ingat tentang semua kebaikan sikap Anjar terhadapku, aku juga kerap mengutuk diri sendiri, “mau jadai apa aku ini ?”. Rasa syukur sangatlah jauh ada padaku, dan yang lebih aneh lagi sepertinya aku tak mengenali diriku yang sebenarnya.
Terlalu kelewatan memang sikapku, setiap Anjar hendak pergi ke kantor mana pernah aku menyiapkan sarapan untuknya, mencium tangannya, atau berpesan agar ia selalu berhati-hati, menjaga diri dengan baik agar tidak terjadi sesuatu padanya. Ketika kepulangannya dari kantorpun aku bersikap acuh seperti biasa. Tak seperti istri-istri yang lain pada umumnya. Tapi Anjar tetap sabar menemaniku, dan ia selalu berjanji akan terus bersamaku sampai ajal menjemput. Baginya kesungguhan adalah segalanya, “jika kesungguhan kita hari ini tak menghasilkan apa-apa, maka percayalah dikemudian hari kesungguhan itu akan mendatangkan hasil yang seperti kita inginkan. Karena pada dasarnya kesungguhan itu merupakan investasi keberhasilan di waktu yang akan datang”, berulangkali Anjar selalu katakan itu padaku.
Aku tak bisa terus menerus membohongi anakku sendiri. Ia begitu rindu pada ayahnya, demikian juga aku. Hanya saja aku tak pernah memperlihatkannya pada Anjar.
“Kriiiing.... kriiiing.... kriiing.....”, secepatnya kuraih ponsel, ternyata dari Anjar. Lagi-lagi keegoisanku muncul. Aku tidak mau jika harus mendengar suaranya, apalagi memintanya untuk pulang. Aku tak mampu berkata-kata padanya lewat telepon. Kuputuskan saja untuk mengirin pesan pendek pada Anjar “Mas..., pulanglah segera, Chalsa anakmu selalu saja menanyakan tentang kamu....”, hanya beberapa patah kata yang dapat aku tuliskan, walau kutahu bahwa aku juga sebenarnya sangat merindukannya.
***
Sejenak pandanganku tertuju pada sebuah potret di atas meja riasku, potret pernikahanku dengan Anjar. “Anjar.. maafkan aku..., sebenarnya aku sangat mencintaimu”, hatiku bergumam lirih, dan tanpa sadar khayalku kembali pada kisah empat tahun silam. Kisah dimana antara aku dan Anjar, ketika mulai meniti cerita asmara, menjadi sepasang kekasih yang larut dalam buaian keindahan cinta yang memukau hati dan perasaan. Aku tak kuasa dengan jutaan rayu manis Anjar, tuturnya begitu lembut, penuh kasih dan sayang. Cinta yang dia hembuskan, membawaku terbang ke surgaloka. Jiwaku terasa luluh tak berdaya, seolah terkena sihir dan semacamnya.
Rinduku pada Anjar semakin memuncak, rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, rindu terpendam yang sejak beberapa tahun lamanya telah aku kumpulkan dan bertumpuk hingga menyekapku dalam ruang kemunafikan. Tak sebanding memang jika kuingat semua kisah masa lalu, dengan sikapku akhir-akhir ini kepada Anjar.
****
Jika Anjar pulang, apa yang harus aku lakukan ? Apakah aku masih tetap bersikap egois dan berpura-pura menyembunyikan kerinduanku padanya ? Aku sudah jenuh dan tak ingin lagi hidup dalam kemunafikan. Mungkin saat inilah waktunya untuk memperbaharui semuanya.
“Tuhan... kembalikanlah suamiku, bawalah dia kehadapanku, dan aku akan bersimpuh memohon maaf. Tuhan... tuntunlah dia kembali dengan cintanya yang tulus, seperti yang selalu ia bisikan, bahwa dia akan selalu mencintaiku dan takkan pernah meninggalkannku. Tuhan... aku begitu mencintai dan menyayanginya... aku mohon padamu Tuhan... kembalikanlah ia...”, pintaku dengan hati yang lirih.
Kehawatiran masih terus menghantuiku, bagaimana jika nanti Anjar sampai tak pulang, bahkan Anjar meninggalkanku untuk selama-lamanya. Kiranya rasa sakit yang teramat sangat akan mengabadi dan merambah masuk ke pori jiwa hingga kuterpuruk dan tak berdaya. “Jangan Anjar...! Jangan lakukan itu padaku, aku tidak mau kehilanganmu..., tidak.... Jangan Anjar.... jangan....”, mohonku dalam hati, dengan tubuh bergetar dan air mata yang terus membasahi pipi.
****
Begitu hebatnya pertengkaran dibathinku, hingga membuatku tak kuasa harus berbuat apa. Tanpa sadar aku berdiri dan melangkah menuju jendela. Di balik tirai aku berhenti diam, tatapanku jauh keluar menembus pagar halaman, senyuman dan lambaian tangan Anjar membias samar dan kemudian hilang. “Ah..!”, aku tersadar, itu ternyata hanya ilusiku saja. Tapi tiba-tiba aku dikagetkan oleh bunyi ponselku. Setelah kulihat aku makin tambah kaget, karena Anjar mengirimkan pesan singkat untukku, yang isinya membuatku tidak bisa berkata apa-apa, mengharukan, air mataku menetes tak henti, tak dapat kubendung dengan menahan isak, “Sekar.. istriku, apakah percikan api di rumah kita sudah padam, jika belum aku tak kan pernah kembali pulang. Aku takut kalau percikan api itu terus-menerus menyala, bisa saja ia akan menghabiskan dan menghanguskan bentuk abadi cinta kita. Sekar.. cintaku, dan aku tak akan pernah kembali pulang jika pintu surgaku masih saja terus kau tutup......”, apa ? aku baru sadar dan berlari keluar menuju pintu, sambil berteriak “Mas Anjar ... Mas Anjar...”, pintu kubuka, dia sudah berdiri di depan pintu dengan senyumannya yang khas, aku tak dapat menahan kegembiraanku, langsung kudekap, kurengkuh erat-erat tubuhnya. Aku tak mau kehilangan dia lagi. Dia kembali memelukku erat. Aku terisak menangis di dada bidangnya. “Maafkan aku mas...”, aku memohon pada Anjar. Anjar tidak banyak berkata-kata, sambil memeluk dan sesekali menciumku, ia berkata, “sudahlah... tak apa-apa, ini hanyalah sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi...”.
Awan mendung kini telah bergeser, berpindah tempat entah kemana. Hidup adalah sebuah perjalanan, kadang naik, turun, berkelok, dan kembali lurus. Cahaya yang hampir padam kini telah kembali bersinar, terang bederang membuat lukisan pelangi di bianglala dengan goresan yang indah, senyumnya itu ternyata telah menyatukan butir butir cinta, bersemi kembali di taman hati.
*****
keren sir!
BalasHapus