17 April 2013

Seonggok Rindu Yang Menggondok

Seonggok Rindu Yang Menggondok
Oleh: Ovay Simangunsong IV

Gemercik hujan di usianya yang sudah menyondong, dentum petirpun silih berganti seperti tak mau kalah. Menggores jiwa yang rapuh, lebur dalam kesunyian. Membuat bumi seolah terkantuk-kantuk untuk tertidur selamanya.
Sepi yang kian mencekam, menggambarkan pada hari esok yang nyap-nyap hampir terkikis deras hujan. Kerinduan pada mentari pagi, serta cahaya kedamaian yang rajin menembus pori-pori sukma dan keagungannya.
***
Seringkali ucap kasar terlontar begitu saja dari mulutku, kata yang tak sepantasnya aku lontarkan pada suamiku sendiri. Entah mengapa, aku sendiri pun tak tahu. Hanya karena Anjar selalu mengingatkan aku agar membiasakan diri untuk bangun lebih pagi, aku marah tak terkendali.
Itu sebabnya Anjar memutuskan untuk pergi, seperti yang sering ia lakukan sebelumnya kala ia sudah tak dapat menahan dan mendengar kata-kata kasarku.
Anjar lebih memilih pergi menghindariku, ketimbang diam di rumah dan cek-cok denganku. Biasanya ia akan pulang satu hari kemudian, atau setelah kemarahanku reda dan memintanya untuk kembali pulang, tapi tak biasanya Anjar sampai lima hari pergi seperti sekarang ini.
“Mam, Ayah mana?” tanya chalsa lirih.
Seketika terasa tersambar petir aku mendengarnya. Inilah pertanyaan yang paling kutakutkan terlontar dari mulut manis putriku. Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah berjanji pada anakku bahwa Anjar akan segera pulang pada hari ini, sejak kepergiannya lima hari yang lalu.
Jujur aku tak ingin lagi berbohong pada anakku. Anjar tak pulang bukan karena kesibukannya di kantor, seperti yang selalu aku katakan pada anakku untuk menutupi masalah sebenarnya yang telah terjadi antara aku dan Anjar.
“Tunggu sebentar lagi ya sayang, mungkin Ayah masih sibuk di kantor.” Jawabku dengan nada pelan memastikan. Padahal dalam hati aku terpukul, aku sendiri tak tahu Anjar pergi mau sampai kapan.
Sebagai seorang ibu, harusnya aku dapat menjadi teladan dan figur yang baik untuk anakku, juga mestinya dapat menjadi istri yang diharapkan oleh suami. Tapi semua itu hanyalah harapan yang tak pernah aku dapatkan sampai detik ini.
Berulanglkali aku mencoba, bermacam cara telah aku lakukan, sampai dalam setiap sujudku memohon petunjuk tuhan atas kuasanya untuk mengusir semua keegoisanku dalam diri ini, tapi tetap tak menghasilkan apa-apa. Sepertinya keegoisanku telah menyatu dalam darah dan dagingku. Aku merasa manusia paling tak berguna di dunia ini.
Ribuan Tanya sibuk berdesakan memenuhi rongga kepalaku.
“Mengapa aku egois?” geramku dalam hati.
Aku tak pernah menuruti petuah dari sang suami, jangankan mengimplementasikan sarannya, bahkan mendengarkannya pun aku malas. Membangkang, menghujat, memalingkan muka, dan mencibir saja yang aku lakukan padanya.
Padahal aku juga menyadari bahwa yang telah aku lakukan merupakan kesalahan yang sangat besar, dan aku juga menyadari Anjar itu imam yang baik, ia penyabar, ia tak pernah lelah memberikan nasehat, serta Anjar selalu tersenyum kalaku marah dan protes.
Aku juga kerap mengutuk diri sendiri. Mau jadi apa aku ini?
Rasa syukur sangatlah jauh ada pada diriku, selain itu aku juga seperti tak mengenali diriku yang sebenarnya.
Setiap Anjar hendak pergi ke kantor, mana pernah aku menyiapkan sarapan untuknya, mencium tangannya, atau berpesan agar ia selalu menjaga diri dengan baik ketika hendak bepergian. Ketika kepulangannya dari kantor pun aku seperti biasa bersikap acuh. Tak seperti istri-istri yang lain pada umumnya. Tapi Anjar tetap sabar menemaniku, ia juga selalu berjanji akan terus bersamaku sampai adjal menjemput. Baginya kesungguhan adalah segalanya, ” Jika kesungguhan kita hari ini tak menghasilkan apa-apa, maka percayalah dikemudian hari kesungguhan itu akan mendatangkan hasil yang seperti kita inginkan. Karena pada dasarnya kesungguhan itu merupakan investasi keberhasilan di waktu yang akan datang.” Berulangkali Anjar selalu katakan itu padaku.
***
Aku tak bisa terus menerus membohongi anakku sendiri. Bagaimanapun ia rindu pada ayahnya, demikian juga aku. Hanya saja aku tak pernah memperlihatkan semua itu pada Anjar, aku merasa tensi jika harus menunjukan itu semua.
Secepatnya kuraih ponsel. Lagi-lagi keegoisanku muncul. Aku malu jika harus mendengar suaranya dan memintanya untuk pulang. Sepertinya aku takkan mampu berkata apapun padanya lewat telepon.
Akhirnya kuputuskan untuk mengirimkan pesan pendek.
“Mas, segeralah pulang. Chalsa merindukanmu” Beberapa patah kata yang mampu kutuliskan. Walau kutahu, aku juga sangatlah merindukannya.
Sejenak pandanganku tertuju pada sebuah potret yang terpajang di meja riasku. Potret pernikahan antara aku dan Anjar.
Tanpa sadar aku berkata lirih “ aku mencintaimu Anjar”.
Khayalanku kembali terseok pada kisah empat tahun silam. Kisah di mana aku dan Anjar mulai meniti cerita asmara, menjadi sepasang kekasih yang terhanyut larut dalam keindahan duniawi yang tiada terkira mewahnya.
Meskipun aku mencintai Anjar, tapi bukan berarti aku konsisten terhadap yang namanya setia. Dulu pernah aku nyaris tergoda bujuk rayu pria lain, bahkan tak hanya satu kali. Aku juga senang dengan selalu memperlihatkan bahasa tubuh yang seolah mengajak mereka untuk menggapai asmara, dengan satu kerlipan mata saja mampu memporakporandakan kokohnya benteng kesadaran mereka.
Walau begitu, aku tak kuasa dengan jutaan rayu manis Anjar, tuturnya begitu lembut. Tutur penuh cinta dari hatinya mampu membawaku terbang keseluruh pelosok surgaloka. Jiwa terasa luluh tak berdaya, seolah sihir dan semacamnya.
***
Kurasakan rindu pada Anjar semakin memuncak, rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, rindu terpendam yang selama ini tak sadar telah aku kumpulkan sejak beberapa tahun lamanya. Segala rindu bermacam rindu kini menyekapku dalam ruang kemunafikan.
Jika Anjar kembali pulang. Apa yang harus aku lakukan?
Apakah aku masih tetap egois dengan selalu berpura-pura dan menyembunyikan kerinduanku padanya?
Aku sudah tak ingin lagi hidup dengan kemunafikan. Aku sudah tak ingin lagi memegang prinsifku untuk tak pernah memperlihatkan bahwa diri ini butuh Anjar, cinta Anjar, dan takut sekali kehilangan Anjar.
Mungkin ini adalah waktunya untukku memperbaharui semuanya
“ Tuhan . . . bawalah suamiku kembali, aku sangatlah mencintainya” jeritku dalam hati.
Apalah jadinya aku nanti jika Anjar sampai tak pulang dan meninggalkankku untuk selama-lamanya. Mungkin rasa nyeri yang mengabadi yang akan terjadi padaku. “Jangan Anjar, jangan tinggalkan aku” mohonku dalam hati yang tak usainya tubuh bergetar dan cucuran air mata.
***
Ditengah sibuknya pertengkaranku dengan rasa takutku yang begitu hebat, aku dikagetkan oleh datangnya pesan singkat yang kulihat itu balasan pesan dari Anjar.
“Maukah kau membukakan pintu untukku, Sekar?”
Seketika langit seolah runtuh, bumi terasa berguncang dengan hebatnya. Aku bahagia tak terkira. Segera kuberlari ke luar kamar menuju pintu depan.
Anjar…!!
Brukkk……
langsung kudekap, kurengkuh erat-erat tubuh Anjar. Aku terisak sejadi-jadinya di dada bidangnya.
“Mas, maafkan aku”
Sebuah kecupan kecil mendarat di keningku. Dengan nada bijak Anjar berkata “Maaf adalah menyesali perbuatannya, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah mengulangnya lagi”
Tuhan, Betapa bijaknya suamiku. Ia tak pernah sama sekali berang dan bosan padaku, malahan ia selalu mengajarkan aku tentang kemurahan hati yang tak terkira harganya.
“Terimakasih Mas” ucapku datar.
“Kembali kasih, Sekar. Lupakanlah masalah ini, dan marilah kita meniti jalan hidup yang lebih sempurna lagi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda